Jumat, 20 November 2009

DIVONIS PA


Sore itu langit sudah mulai menguning, udara pun semakin terasa sejuk, angin semilir menerobos masuk, kesela-sela kusen pintu, berusaha menyegarkan penghuninya.
Sore yang dinanti-nanti, karena sebentar lagi waktu maghrib tiba, mengapa? yah tak salah lagi karena saat itu memang sudah beberapa hari ini orang berpuasa. Ramadhan bulan penuh berkah, namun disinilah ku berkisah, tentang kejadian dimasa kecilku yang mungkin sedikit terlupa, namun sampai sekarang pun masih agak samar mengingatnya.
Masih disore itu, disebuah perumahan padat di utara kota jakarta, disamping gang2 kecil yang tak lurus, di rumah sederhana itu, masa kecilku banyak kuhabiskan, 9 tahun usiaku, namun sudah mulai beberapa tahun yang lalu ku mampu menjalankan puasa seharian penuh, mungkin hal yang cukup membanggakan, mengingat byk orang dewasa yg bahkan tak sanggup tuk menjalankannya setengah harì saja, karena alasan lelah bekerja. Seperti hari kemarinnya, sore ini ayahku menyalakan kaset yang baru dibelinya kemarin lusa, sebuah kaset yang menyuarakan ayat2 Allah, sebagai pelengkap suasana dan menambah pahala bagi siapa saja yang mendengarnya.
Suara yang menenangkan jiwa, mengalun mengisi tiap ruang di telinga, menggetarkan hati orang2 yang mendengarnya. Awalnya ku ikut mendengarkan lantunan ayat2 suci itu, namun entah mengapa, lama2 malah aku bercanda dengan adikku, 2 tahun usia kami terpaut, biasalah bocah dengan keceriaannya, tak perduli tempat dan suasana, semua merupakan arena bermain baginya. Suara2 yang ditimbulkan dari candaan kami akhirnya mengusik ketenangan ayahku, ia yang lagi khusyu mendengarkan lantunan Al-Quran, merasa terganggu,beliau menyuruh kami untuk diam, dan spontan kamipun terdiam kembali. Namun apa karena terlalu ceria, kamipun bercanda kembali, tak ayal, akhirnya ayahku marah, dan menyuruh kami main diluar saja, ku begitu ketakutan saat itu, belum pernah ayah semarah itu, karena ayahku sebenarnya seorang penyabar, "ya Allah, ampunkanlah dosa ayahku, terimalah amal puasanya, karena marahnya bukan maunya, tapi karena kami anak2nya yang tak pandai mensyukuri nikmatMu"
Akupun bergegas keluar, diikuti oleh adikku, bukan untuk melanjutkan main, tapi malah termenung, seakan menyesali perbuatan kami tadi. Sampai akhirnya maghrib tiba, ku baru berani masuk kedalam rumah, tuk segera membatalkan puasa, sementara air muka ayahku, tidak menandakan ia habis marah, kembali sejuk dan tenang, bagai mata air pegunungan yang menyegarkan.
Keesokan harinya, diwaktu yang sama, menjelang maghrib, ku bermain bersama beberapa orang temanku, kali ini, ku bermain dengan teman2ku yang berada disekitar rumah nenekku, rumahku dan rumah nenekku terpaut hanya 1 gang, katakanlah rumahku di gang 5, sedangkan, rumah nenekku di gang 4, jadi aku mempunyai 2 kelompok teman, dari gang 5 dan gang 4. Gang rumahku merupakan jalan kecil hanya sekitar 2 setengah meter lebarnya, sementara gang rumah nenekku lebih lebar, sekitar 5 meter lebih, sehingga memungkinkan mobil untuk lewat, bahkan, truk sayur dari pasar induk dapat melewatinya juga, karena memang diujung gang itu ada sebuah pasar yang lumayan besar.
Kembali kepermainanku, setelah puas bermain kejar2an, ada teman yang mengusulkan untuk bermain kepasar, akupun ikut serta, dan lupa, kalau sebenarnya aku harus segera pulang, karena maghrib tiba. Sesampainya dipasar temanku mengajak tuk bm mobil, bm istilah ditempatku, yaitu menumpang mobik di bagian belakangnya, paling sering dilakukan pada truk sayur dan mobil box, saat mobil berjalan pelan, anak2 akan mengejar dari belakang, dan naik melompat ke bagian belakang, tangan memegang kuat, kaki mencari pijakan, merasa senang kala berhasil, dan terbawa jalan oleh truk tersebut, untuk turunnya, kami biasanya menunggu saat tikungan, saat truk berjalan lebih pelan, langsung pada berlompatan, mirip ninja di film2 jepang. Sambil menunggu truk yang akan kami bm, aku mengamati keadaan sekitar, dalam hati sempat ragu, tuk meneruskan niat itu. Akhirnya ada truk yang jalan, kami pun berebut berlarian, berlompatan mencari pegangan, ku dapatkan pegangan itu, pijakan kakipun telah mantap menemukan tempatnya, kini tinggal menikmati kesenangan tiada tara, sebagai seorang bocah, entah apa yang ada dipikiranku saat itu, ku hanya bisa menikmati belaian angin saat truk mulai laju, bergetar tangan2 kecil itu, menahan tubuh melawan gravitas maju. Langit mulai menghitam, menyisakan bayang2 yang semakin kelam, lampu jalan tak semuanya benderang, sebagian padam, meninggalkan sayup2 kegelapan. Laju truk yang tiba2 melesat, bagai pesawat yang akan meninggalkan landasan pacu, membuat tubuhku yang tak seberapa besar terhentak, tangan2 yang bergetar semakin hebat akhirnya tak mampu menahan berat tubuhnya sendiri, ditambah daya tolak dari gerak maju yang tiba2 itu. Bagai beribu tangan yang memeluk pinggangku dan menarikku tuk jatuh kebelakang, aku tak tahan, dan tanganku lepas dari pegangannya, melayang terhempas keras ke atas aspal yang kasar, bagian belakang kepalaku mau tak mau membentur dan beradu, kesadaran yang tersisa saat itu hanya keremangan langit disela sela dedaunan pohon nan rindang, tak mampu bergerak, seluruh tubuhku benar2 lumpuh, ku takmengerti, dalam pikiran bocahku berkata, "inikah pintu gerbang kematian?".
Entah berapa lama tubuhku tergeletak begitu saja di jalan, memang pas ditempatku terjatuh suasana agak gelap, sukar bagi orang lain tuk melihat tubuhku. Ku hanya bisa pasrah tak berdaya, saat ada tangan2 yang mengangkat tubuhku lalu menggendongnya, kutak dapat melihat wajahnya, samar dalam kesadaran yang sewaktu-waktu dapat menghilang, direnggut dariku selamanya. Hanya kilasan2 bagai sketsa yang muncul dan menghilang, pandangan2 dari mataku menyaksikan, ku dibawa berjalan, diantarkan kerumah nenekku yang ternyata hanya berjarak seratus meter dari tempat kejadian, selanjutnya ku mendengar teriakan2 dari orang yang kukenal, panik dan berisik, beberapa ada yang mulai menangis, hanya bisa memandang nyalang, tanpa mampu berkata apa2,
"Iyan, kenapa kamu Iyan"? Ingin rasanya ku menjawab pertanyaan itu, namun selain ku tak mampu berkata-kata, akupun tak mengenali siapa yang bertanya. Pikiranku seolah mengambang, melayang, mulai memasuki celah-celah bilik, kadang ku temukan kegelapan, yang mengiasi sejauh mata memandang.
Masih tak mampu menggerakan tubuhku sedikitpun, masih tak mampu membuka mulut, hanya mata yang terbuka, memandang kosong, membuat semakin panik keadaan, kumerasakan, tubuhku ditaruh di sebuah ranjang tua, dari besi yang kokoh, pakaianku di lepas tanpa sisa, entahlah mungkin tuk mencari sumber luka yang membuat keadaanku sedemikian rupa, bau minyak angin, balsem dan keringat, menjadi satu ditubuhku, ada yang mengurut-urut mulai dari kakiku, hingga kepala.
Orang tuaku tiba, ibuku ikutan panik, ayahku tampak diam, namun tak dapat disembunyikan air mukanya yang penuh kecemasan. Dari pada tak karuan, mereka memutuskan, membawa ku ke dokter langganan yang biasa didatangi kala sakit datang, seorang dokter umum, yang membuka praktek tak jauh dari rumah nenekku.
Dinding putih menjadi semakin suram, saat kumelihatnya dari bahu kanan ayahku, kepalaku tergolek lemas diatasnya. Menunggu antrian yang tak begitu panjang, dari berbagai rupa, yang mengisyaratkan kesakitan. Giliranku tiba, pemeriksaan dilakukan pada bagian kepalaku, kemungkinan geger otak menimpa diriku, dokter mengatakan jika dalam 2 hari aku muntah2, maka harus dibawa kerumah sakit untuk di opname.
Kuterlupa bagaimana selanjutnya yang terjadi, karena memang sering hilangnya kesadaranku saat itu. Terakhir yang ku tahu keesokan harinya aku muntah2, sesuai dengan petunjuk dokter, ku dibawa kerumah sakit oleh ke dua orang tuaku, seminggu aku dirawat disana, di rontgen kepalaku tuk memastikan kondisi yang ada.
Pertamakalinya ku dirawat inap di rumah sakit, pertama dan belum pernah lagi sampai sekarang, mudah2an jangan. Masa2 yang tidak mengenakan, terlebih untuk bocah seusiaku, seharusnya aku sedang bermain, berlari dan tertawa riang, bersama dengan teman2ku, kini ku tergolek tak berdaya, menoleh pun berat rasanya, apalagi sampai mengangkat kepala, praktis, berjam-jam posisiku tidak berubah.
Seiring berjalannya waktu, keadaanku berangsur-angsur membaik, berkat do'a dari semua orang, berkat trampilnya para dokter dan perawat, dan yang yang pasti,berkat kemurahan hati Allah SWT. Awal kesembuhanku di tandai dengan permintaanku mau makan nasi padang, jenuh dengan hidangan rumah sakit yang membosankan, ku makan bungkusan coklat itu, kusikat rendang yang masih hangat, walaupun tak mampu kuhabiskan, ku merasa senang, karena melihat senyum ibuku yang setia menungguku, sementara ayahku sedang bekerja.
Dengan bangga ku berjalan, seolah ingin menunjukkan betapa mudahnya melangkah, seperti seorang bayi yg mulai bisa berjalan, aku kesenangan, tanpa kursi roda itu, yah, tak perlu ku menggunakannya lagi, karena kini ku dapat berdiri sendiri. Ku diperbolehkan pulang, setelah melihat kondisi yang ada, dan melihat kantong tentunya, karena bukan murah dirawat berlama-lama disebuah rumah sakit swasta. Berbagai senyuman menyambutku, bagai seorang pahlawan pulang dari medan pertempuran. Ku tak mau langsung berlarian, biarlah setahap demi setahap ku lalu lorong itu dengan berjalan perlahan.

Ejekan demi ejekan, dari beberapa temanku yang lebih tua, yang memang tak dekat, terus mengalir bagai air bah, aku divonis mereka dengan kata2 PA, sebuah istilah untuk mencap seseorang yang mendekati gila, apa karena geger otak ini, ku menderita, mereka tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya, entahlah apa memang ada syaraf yang putus, namun ku merasa keadaanku baik2 saja, hanya ada satu keanehan, kepalaku selalu miring ke kanan, ketika berjalan, ibuku selalu membetulkan posisi kepalaku dengan penuh kasih sayang. Entah berapa kali terulang, kepalaku masih saja tengleng, harus aku sendiri yang berusaha tuk normal lagi.
Sebuah kejadian yang menyisakan banyak pelajaran, tentang kasih sayang, tentang kepatuhan, tentang diriku sendiri tuk dikenang dimasa depan. Berbagai ejek dan hinaan, kuhadapi dengan diam, ku buktikan kepada mereka, bahwa otakku lebih hebat dari yang mereka punya, nilai nem ku memungkinkan ku masuk ke smp dan stm favorit, padahal teman 1 gang tempatku berada, tidak bisa mendapatkannya, nah kalo sudah seperti ini, siapa yang sebenarnya PA?

(hanya dari kisah kecil dari masa lalu yang sudah banyak terlupa)
201109 1059 Sl@m

See more stories at: slam201080.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar