Senin, 02 November 2009

Kisahku bersama lumpur itu

siang itu nampak cerah, matahari laut bersinar dgn terangnya, seakan sanggup untuk menguapkan semua. Nampaknya mungkin akan menyegarkan bila membasahi diri dgn air agar tdk semua dari cairan ini meninggalkan tubuhku, mungkin juga berenang di kolam bersama teman2 akan sangat menyenangkan, mengingat saat ini air adalah satu2nya sahabat terbaik didunia.
"bagaimana jadi kita berenang" kataku mengajak kedua temanku dan juga seorang adik laki2 ku, "jadi" berkata temanku menìmpali pertanyaanku, "tapi gimana nih kita tak punya duit buat ke kolam renang" aku mengingatkan, "gimana kalau kita ke laut saja" yg lain berfikir sesaat temanku ucu mengatakan idenya, tidak jauh dari tempatku memang laut terbentang luas bebas tuk dijamah, walau kini sebagiannya dimanfaatkan oleh para kaya buat menambah pundi2 mereka dgn membangun berbagai sarana rekreasi yg akhirnya membatasi putra putri negri tuk menikmati secara cuma2, tapi masih ada tempat yg menawarkan kebebasan tanpa uang tebusan, walau tidak seindah yg dibayangkan, namun lumayanlah tuk sekedar melepas penat yg ada, dan kesanalah tempat yg kami rencanakan akan kami datangi, fasilitas gratìs yg diberikan alam untuk para hamba.
Berjalanlah ke empat anak itu, salah satunya aku, hampir sejaman waktu yg dibutuhkan menuju tepi laut, melewati gang2 sempit dan liku2 rumah yg tak simetris maklum nyaris kumuh, sebuah potret dari keganasan persaingan kota besar termasuk kota tempatku tinggal, namun kami tak pernah mempermasalahkanya, toh kami juga telah terbiasa darì mulai orok yg berdarah sampai duduk dibangku sekolah. Panas yg menyengat menghiasi perjalanan disiang itu, sesekali tawa dan canda bocah pecah ikut memberikan kesejukan yg memang diperlukan sebagai penghilang dahaga, maklum tak ada yg membawa minuman.
Udara asin bercampur amis mulai menyerang melewati bulu2 hidung masuk ke jalur pernafasan, manakala langit yg dipenuhi burung pesisir seolah memayungi kami dari teriknya mentari, yah cakrawala dan laut menjadi satu dalam garis lurus didepan sana, pemandangan yg indah ciptaan Tuhan, berlari mereka sambil tertawa lepas layaknya anak kecil yg br saja dibelikan mainan oleh orang tuanya, manakala kaki2 telanjang karena sandal telah dilepaskan meninggalkan jejak2 di pasir hitam, sesekali cipratan air mengenai tubuhku saat canda dan tawa itu menjadi satu, udara yg menyegarkan tak sedikitpun terasa sisa pembakaran, angin yg bertiup kencang seolah mengajakku terbang membuat iri sang gravitasi.
Pantai yg landai, gelombang yg datar, air laut yg berwarna keruh kehitaman, cukup membuatku takjub dan tak ingin segera beranjak, entah mengapa tak berminat lg tuk menceburkan diri ini kedalam air asin itu, malah terkesima walau telah beberapa kali ke tempat ini tuk hanya menatap kedepan dan melihat yg lain saling berkejaran. Waktupun tak terasa telah petang, tawaran kerang bakar dari orang sekitar tak mampu kami tolak dan masih menyisakan manisnya aroma daging kenyal kuning kemerahan itu, waktunya pulang, tak ingin melewati jalan yg sama kala td datang, kamipun mengikuti serombongan orang didepan, yg tiba2 saja menghilang tertutup tingginya alang2, terus mencari sambil mengikuti jejak samar yg tak mampu kami cari, luka kaki ini terkena karang tadi mulai terasa perih membuat kerut didahiku, ah tanah lapang itu terlihat sebagai jalan yg akan mengantarkanku pulang, melewati pipa2 sisa pembangunan, nampak pondasi2 cakar ayam dari jalan tol yg blm terselesaikan menghiasi pemandangan didepan, berjalan terus walau rasa lelah kini seakan telah menjadi sahabat kami yg baru, debu bercampur lumpur dan pasir laut menghiasi sekujur kaki ku, tak bedanya dgn olesan mentega pada roti yg dimakan kala pagi di dalam rumah besar itu, mencari pembersih diri akhirnya kutemukan genangan itu, berlari ku melewati teman2ku, bersemangat aku tuk menjadi juara satu, tapi hal yg tak terduga terjadi, hal yg hanya kulihat dari layar televisi kini kualami sendiri, lumpur itu menghentikan langkahku, mengajakku masuk ke dalam perutnya, kucoba berontak dan menyelamatkan alas kakiku, berhasil memang, namun kini sebatas pinggang ke bawah telah hilang, untung kesadaran blm dipanggil pulang, ku rebahkan diriku berteriak memanggil teman2ku, walah mereka malah menjauh, kuberontak sekali lagì dari tangan2 itu, bisa ya aku harus bisa walau tambah kotor diri ini, itu jauh lebih baik dari pada tangisan orang tuaku yg kebingungan mencarì jasad anaknya diantara genangan ini. Peluh dan lengketnya liat tanah bercampur menjadi satu, saat nafasku memburu, mengajak lebih banyak udara tuk segera mampir kedalam paru2ku, agar berlanjut nyawa ini, akhirnya luput juga dari kematian yg tak diduga, saat pijakan keras kembali terasa, tersenyum ku dalam hati, sembari memaksakan diri tuk mencari, air pembersih diri, sialan mereka dìsaat aku kesusahan tadi malah tertawa, ya sudahlah memang ada lucunya, mirip pemaing lenong dgn segala pernak perniknya. Kubasuh tubuh ini dgn air yg akhirnya kutemukan juga, berputar putar sebelum akhirnya memutuskan tuk bertanya, pada salah seorang pekerja yg tengah melintas disana, mau juga ia menunjukan jalan keluar dari tempat ini, tempat yg seharusnya menjadi kuburanku hari ini, bagai malaikat penolong pekerja itu bagiku, saat lelah membuat otak tak lagi berfikir sehat, jawaban telah diberikan, akhirnya bisa juga aku pulang, tuk mengakhiri petualangan harì ini. Bayang bayang pondasi cakar ayam dari jalan tol yg blm jadi, miring menghiasi jalan terakhir dari kawasan yg usai dikunjungi, haus, lapar, letih, telapak kakì yang berlubang melawan karang memberi kesan tersendiri, kisah ini selalu kan teringat dihati, betapa umur dan mati bukan milik diri, walaupun kita yakin kapan waktu itu kan datang sendiri, sebuah usaha tuk memperjuangkan hidup telah ku tunjukan saat itu, bukti nyata berharganya setiap nafas yg kita lakukan, degup jantung yg diluar kesadaran dan kedipan mata yg tak diperintahkan, semoga mentari yg menyinari sore itu kan selalu teduh menyaksikan kamì yg melangkahkan kaki, kembali menuju pembaringan yg utuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar