Minggu, 03 Januari 2010

Baju hijau part 5 (to cileungsi)

Singkatnya kebersamaan, ceria yang dirasakan, kepuasan yang didapatkan, sungguh sebuah anugerah yang tak terhingga, diusia yang tergolong muda, kesempurnaan dalam hidup telah di dapatkannya, tinggal ia menghiasinya dengan rasa syukur yang tak terhingga.
Sebuah keindahan yang didapatkan dari sedikitnya waktu yang diperlukan, akan lebih terasa memang, jika lebih panjang, mungkin ada kebosanan yang timbul dari konsekwensi seringnya berìnteraksi, layaknya makanan yang terasa lebih nikmat jika kurang apalagi diperebutkan, hal yang sama juga terjadi pada kehidupan, rasa muak yang timbul akan tercipta jika hidup kita terasa konstan, maka diperlukan berbagai perasaan di dalamnya, walaupun beberapa sebenarnya kita tidak inginkan, ingat, kita hanya aktor yang telah disekenariokan, tinggal improvisasi kita dalam kehidupan sehari-hari agar hidup ini bermakna, jadi jangan merasa hidupmu biasa saja, karena setiap orang adalah luar biasa.
Nasehat yang timbul dari dalam diri dan secara tiba2 ada, adalah sebuah cerminan, bahwa sesungguhnya setiap hati manusia mempunyai kesadaran yang tinggi, untuk mengetahui hakikat sebenarnya dari sebuah kebenaran, namun sering manusia mengacuhkannya, seolah ia gangguan yang hanya menghalangi nafsunya tuk terus berjalan.
Selepas maghrib, saat masih tersisa cahaya kemerahan di barat langit, Yanto merapikan tas hitamnya, tas yang didapatkan dari perusahaannya, atas keberhasilan jobsitenya memenangkan best maintenance, tas yang selalu dibawanya dengan penuh rasa bangga. Setelah yakin apa2 saja yang diperlukannya telah berada di dalam tasnya, ia pun mulai merapikan dirinya dan apa yang akan dikenakannya.
Ada sedikit kesedihan pada air mukanya yang ia lihat sendiri saat bercermin, namun ia telah membulatkan tekad, ia harus jadi pemenang dari sebuah pertarungan yang memperebutkan kehormatan diri, sebagai karyawan juga sebagai manusia, ia tak ingin kalah sebelum mencoba, ia ingin membuktikan ia juga bisa.
Kembali mencoba terseyum, tuk mengiringi langkah kaki yang tak ingin pergi, berusaha menghibur putrinya agar mengerti tugas yang harus di emban ayahnya, dan ia beruntung memiliki keluarga yang setegar batu karang, tak ada tangis kesedihan dan memang itu yang diharapkan, agar setiap langkah jadi terasa ringan.
Yanto pun berangkat, menuju cileungsi, sebuah tempat yang merupakan training centre dari perusahaannya bekerja, sekitar 60 km dari tanjung priok dan sebanyak 3x ia harus menaiki berbagai angkutan umun tuk tiba disana.
Terminal tanjung priok, masih saja berdebu dan kumuh, langit sudah mulai gelap, namun semakin pekat udara karena bercampurnya berbagai sisa pembakaran yang tak sempurna itu, dipaksa dimuntahkan dari knalpot yang nyaring dan bising, teringat Yanto akan berbagai kenangan masa silam, terminal menjadi saksi sebagian perjalanan hidupnya (baca kisah "nasi bungkus")
Lama bus yang ingin ia tumpangi tak kunjung berangkat, P89, Tg. Priok-Blok M, rencananya ia akan turun di uki cawang, tapi ia mengurungkan niatnya naik P89, karena agaknya msh lama bus itu berangkat, terpaksa naik P.43, Tg. priok-cililitan, lewat uki juga, tapi tidak lewat tol, jadi otomatis perjalanan menuju uki jadi lebih lama.
Yanto duduk dikursi kanan tengah, lurus dgn pintu yang berada di sebelah kirinya, bus ex jepang, masih terlihat dari beberapa tanda baca dan petunjuk di dalam kabin, seorang ibu gemuk yang menjadi kernetnya meminta uang bayaran, cukup dengan 3000 perak saja, sudah bisa menikmati perjalanan di bawah jalur tol Ir. Wiyoto Wiyono, mulai dari jalan Yos sudarso hingga halim.
Aroma keringat dan lelah, menghiasi indra penciuman, dikala lalu lalang berbagai macam manusia yang naik dan turun dari bis itu, jarak yang tak begitu jauh terasa lama, kala bus harus selalu berhenti baik di halte yang berada sepanjang jalan itu ataupun disembarang tempat, dimana penumpang akan turun dan naik.
Rasa di perut sebenarnya sudah mulai tak karuan, akibat pola makan darì kemarin yang tak beres, efeknya, seperti ada baling2 blender jus yang menari2 di usus besarnya, namun ia masih bisa bertahan.
Perjalanan yang seolah tiada akhir, tetapi memang tetap harus berakhir.
Uki, seperti sebuah persimpangan dari pembuluh darah ke berbagai bagian tubuh, berbagai jalur utara, timur, dan selatan bertemu di sini, menciptakan kawasan yang padat dengan berbagai macam angkutan dari banyak jurusan. Yanto turun di sana untuk melanjutkan perjalanannya, ketika malam sudah merayap kelam, sebuah suzuki elf berwarna merah magenta dengan nomor jurusan 89, cawang-cileungsi yang Yanto cari, dapat, namun sudah penuh sesak, dipaksa harus berangkat, Yanto menyelinap di sela2 tubuh yang nampaknya tak rela bersentuhan dan membuat ruang semakin sempit. Terpojok menghadap kebelakang, tidak menyisakan ruang sama sekali sehingga kaki sulit bernafas, udara malam yang seharusnya dingin berubah pengap, karena tiap penumpang memperebutkan oksigen yang persediaannya terbatas di dalam sana, sesak, namun mau apa lagi.
Perjuangan belum berakhir, ini masih sebuah awal, jangan menyerah, jangan dulu kalah.
Lapar yang tercipta membawa Yanto tuk mampir ke warung nasi goreng, sesaat setelah sampai di simpang 4 cileungsi, namun kenyang yang di harapkan datang, malah jadi bumerang, sakit perutnya makin tak tertahankan. Mencoba menerobos kemacetan dengan berjalan, dan saat mulai lengang baru ia naik angkot menuju kawasan industri menara permai, tempat yang akan dituju.
Keadaan telah berubah, setelah dua tahun lebih ia terakhir meninggalkan cileungsi untuk mutasì ke kalimantan sana, ia tak tahu entah lupa, tak ada ojek di depan kawasan tuk mengantarkannya ke dalam sana, terpaksa ia berjalan kaki dari depan kawasan ke dalam , karena memang Pama cile, terletak di pojok dalam sebelah kiri kawasan, sekitar 20 menit jalan kaki dari depan.
Dalam keremangan, mencoba mengingat kembali berbagai kenangan dua tahun yang lalu, saat ia bertugas di sana, lumayan lama, hampir satu setengah tahun ia membuat unit2 scrap pama menjadi seolah-olah baru untuk di jual ke singapura dalam berbagai lelang yang diadakan beberapa kali tiap tahunnya. Unit2 yang sudah tidak produktif lagi, direkondisi sehingga layak jual.
Tak terasa berbagai kenangan mengantarkannya ke depan pintu gerbang, berharap masih di kenali oleh beberapa orang security, dan memang demikian. "wah mas Yanto, lama tidak ketemu, dalam rangka apa nih ke sini lagi?" begitulah basa-basi pembuka percakapan yang membuat Yanto sedikit nyaman, ia jawab seperlunya, karena ia tak ingin terjebak dalam percakapan yang panjang, ia lelah dan ingin segera memanjakan tubuhnya diatas pembaringan.
Ia berjalan di tempat ia dulu biasa berjalan, unit2 alat berat dari berbagai jenis dan ukuran, terparkir rapi, menyambut pemandangan. Terus ia berjalan menuju TC (training centre) di ujung jalan, TC yang kini tampak megah, karena ia tahu dua tahun yang lalu semua masih tanah merah, sungguh perubahan yang sulit di percaya, pama cile memang cukup luas sekitar 12 ha, jadi masih banyak ruang memang yang bisa dimanfaatkan.
Mencari informasi, kepada dua orang temannya yang telah tiba sedari sore tadi, ternyata hanya menyisakan satu tempat tidur di barak A4, untung lah tadi dua temannya telah memesan tempat untuk Yanto menginap,karena sebagian yang lain yang datang lebih awal malah tidak kebagian tempat tidur, dan harus rela tidur di lorong2 container yang di jadikan beberapa kamar.
Tak dapat langsung terlelap, karena reaksi kimia didalam tubuh yang tidak stabil, membuat rasa lelah tak mampu menidurkan tubuh dan pikiran, ditambah lagi sakit perut yang dari tadi ditahan, turun naik ranjang, keluar masuk toilet, membuat yang lainpun terganggu nyenyaknya.
Mencoba-coba menerka, dalam sadar dan tidak, kegiatan apa yang akan dijalani esok paginya, mengantarkannya menuju alam mimpi, yang mungkìn langsung ìa lupakan saat tersadar nanti. Sudah memasuki bagian akhir dari sebuah awal kisah yang lebih menantang, untuk di cerìtakan, karena berbagai emosi terlibat di dalamnya, interaksi dengan banyak orang, semakin menyadarkannya bahwa manusia tak bisa hidup sendiri, karena manusia adalah makhluk sosial yang harus tetap berkomunikasi dengan yang lainnya, untuk diterima keberadaanya, untuk di hargaì dan di hormati, sebagai manusia tentunya.
Bersambung....
040110 2215 sl@m
See more stories at, www.slam201080.blogspot.com

Baju hijau part 4 (terbang pulang, sesaat dalam pelukan)

Indahnya angkasa, luas tanpa batas. Awan yang bersusun, tersenyum beriringan, menyanyikan senandung yang terbawa angin kerinduan. Yanto menyaksikan keajaiban alam dari sudut pandang sang rajawali. Jalan, sungai, dan rumah2 yang semakin nampak kecil, menandakan ia terbang semakin tinggi dan tinggi, hingga kini hanya warna kelabu yang memenuhi batas pandang dari jendela pesawat yang ia naiki. Warna kelabu yang semakin gelap dan pekat, meyakinkan dirinya, bahwa cuaca diluar sana kurang bersahabat.
Tiba2 pesawat berguncang cukup keras, saat melewati awan badai, suara pramugari kembali terdengar lewat pengeras suara, menyarankan para penumpang untuk kembali ke tempat duduknya masing2, dan menggunakan sabuk pengaman.
Wajah Yanto semakin pucat, namun ia berusaha tuk menyembunyikannya, mencoba tersenyum walau kecut, ia tak berani memandang keluar sana, beberapa kali pesawat kembali terguncang, bagai mobil yg melewati jalan penuh lubang, tapi ini beda, 30 ribu kaki di atas permukaan laut, cukuplah membuat siapapun beku kedinginan bila diluar sana, dan mungkin tak ada seorang pun yang ingin berada diluar.
Perjalanan menembus udara itu terasa berhari hari, padahal hanya sekitar satu setengah jam saja aslinya, namun dalam ketegangan waktu jadi merayap lambat, ketenangan yang dipaksakan didapatkan dari membaca novel yang dibawanya, menembus waktu, kembali ke jaman kerajaan demak, saat jaka tingkir mencari jalan hidupnya.
Badan pesawat mulai miring, bergantian, kanan dan kiri, hanya sekedar mencari posisi agar tepat dengan landasan yang tinggal beberapa puluh kilometer lagi, namun bagi Yanto, bagai sebuah permainan uji nyali, dan ia hampir merasa dikalahkan, disaat saat semua yang ada didarat semakin mendekat.
Satu hentakan yang nyata, ketika roda2 pesawat dan aspal keras landasan bertemu, saling menyapa, menciptakan putaran yang kencang dan sedikit asap. Pesawat telah mendarat dgn selamat, perlahan dan pasti, laju berkurang, ketika ada mekanisme di kedua sayap yang terkembang, menciptakan efek pengereman.
Syukur alhamdulillah, Yanto bersyukur dalam hati, masih diberikan umur panjang, waktu yang ada kan dipergunakan bertemu dengan orang2 tersayang, walau ia tahu ia hanya memiliki beberapa jam kebersamaan.
Tak perlu menunggu bagasi, Yanto langsung bergegas menuju pintu keluar, yang langsung di kerubungi berbagai orang yang menawarkan jasa angkutan, mulai dari taksi, mobil charteran, sampai ojek motor, namun ia tak perduli, pandangannya lurus kedepan, menuju shelter bis yang kini tampak lebih nyaman.
Resah dan gelisah, bus yang ditunggunya tak kunjung tiba, dah satu jam lebih lehernya terasa panjang, karena tak ingin terlewat satupun bus yang melintas didepannza, "semakin berkurang waktuku kalau begini" berkata ia dalam hati.
Saat bus yang ditunggunya lewat, ia seperti sudah tidak bersemangat untuk menaikinya, dalam perjalanan itu dihabiskannya dengan mendengarkan musik dari headset yang tersambung dari hape nya. Tak membutuhkan waktu lama, ketikam bus jurusan bandara-Tanjung Priok itu tiba di daerah plumpang jakarta utara, Yanto segera turun, kembali puluhan tukang ojek mengerubunginya, bagai semut yang memperebutkan sebutir gula, kembali ia acuhkan, lebih baik melanjutkan perjalanan dengan naik angkot saja, lbh murah.
Sudah tak sabar rasanya, ingin segera melihat sang buah hati tercinta, tuk sekedar pelepas lelah, dan pelepas kerinduan yang tertunda. Anak keduanya, seorang putra, yang lama di idamkanya, telah lahir sebulan yang lalu, hanya berselang 3 hari ketika ia kembali ke kalimantan sana, padahal hampir 2 minggu ia minta ijin pulang tuk menemanì istri tersayang, berharap menyaksikan sebuah keajaiban alam, seperti yang ia lakukan pada putrinya yang pertama, hadir tepat disamping perempuan yang dicintainya, dan memberi semangat agar ada kekuatan lebih dalam proses persalinan itu. Tapi takdir mengatakan lain, mungkin sang putra ingin menunjukan ketegarannya, tak perlu didampingi sang ayah, saat menghirup nafas pertamanya di dunia ini.
Jalan itu semakin dekat, ketika ia mulai melangkahkan kakinya menuju rumah mertuanya, bergemuruh rasa didada, semakin nyata, semakin dekat dengan jarak, semakin kuat ikatan batin terasa.
Disambut oleh kegembiraan putrinya, yang kini sudah berumur 3 tahun lebih, yang langsung melompat ke dalam gendongannya, tak perduli ayahnya belum melepas tas yang berada dipunggung. Penasaran ingin ia segera melihat wajah puteranya. Sang mertua meyarankan Yanto untuk segera cuci muka dan cuci tangan dulu, agar debu dan kotoran yang melekat selama perjalanan, dapat luntur dan terkubur, larut bersama air yang mengalir.
Seolah tak percaya, menyaksikan keajaiban Ilahi, ia terpesona, dengan wajah imut itu, wajah2 baru penghuni bumi, segera ia menggendongnya, ada aliran gelombang yang menyatukan dua jiwa, seolah saling menyapa namun tanpa kata, hanya dapat di sadari oleh hati yang penuh cinta dan kerinduan.
Pangeran telah bertemu dengan rajanya, raja tanpa mahkota, karena kerajaan cinta tak perlu raga, namu begitu luas kekuasaanya, dapat merubah semua rasa yang membelenggu hati dapat dengan mudahnya berubah indah, segala dendam, dengki dan kelelahan jiwa, sìrna oleh sihirnya.
Sebenarnya tak semua rasa dapat terbaca, begitu indah dan menakjubkan tuk diungkapkan, cukuplah pertemuan yang singkat itu memberikan kekuatan bagi Yanto tuk melangkahkan kaki ke depan, menghadapi berbagai halang dan rintang, cukuplah jiwa telah terbersihkan dan terisi semangat tuk menunjukan, bahwa ia bukanlah seorang pecundang, karena ia akan memastikan ia akan menjadi orang yang terakhir tertawa dalam kemenangan
Bersambung....
030110 1814 sl@m
See more stories at www.slam201080.blogspot.com