Minggu, 03 Januari 2010

Baju hijau part 4 (terbang pulang, sesaat dalam pelukan)

Indahnya angkasa, luas tanpa batas. Awan yang bersusun, tersenyum beriringan, menyanyikan senandung yang terbawa angin kerinduan. Yanto menyaksikan keajaiban alam dari sudut pandang sang rajawali. Jalan, sungai, dan rumah2 yang semakin nampak kecil, menandakan ia terbang semakin tinggi dan tinggi, hingga kini hanya warna kelabu yang memenuhi batas pandang dari jendela pesawat yang ia naiki. Warna kelabu yang semakin gelap dan pekat, meyakinkan dirinya, bahwa cuaca diluar sana kurang bersahabat.
Tiba2 pesawat berguncang cukup keras, saat melewati awan badai, suara pramugari kembali terdengar lewat pengeras suara, menyarankan para penumpang untuk kembali ke tempat duduknya masing2, dan menggunakan sabuk pengaman.
Wajah Yanto semakin pucat, namun ia berusaha tuk menyembunyikannya, mencoba tersenyum walau kecut, ia tak berani memandang keluar sana, beberapa kali pesawat kembali terguncang, bagai mobil yg melewati jalan penuh lubang, tapi ini beda, 30 ribu kaki di atas permukaan laut, cukuplah membuat siapapun beku kedinginan bila diluar sana, dan mungkin tak ada seorang pun yang ingin berada diluar.
Perjalanan menembus udara itu terasa berhari hari, padahal hanya sekitar satu setengah jam saja aslinya, namun dalam ketegangan waktu jadi merayap lambat, ketenangan yang dipaksakan didapatkan dari membaca novel yang dibawanya, menembus waktu, kembali ke jaman kerajaan demak, saat jaka tingkir mencari jalan hidupnya.
Badan pesawat mulai miring, bergantian, kanan dan kiri, hanya sekedar mencari posisi agar tepat dengan landasan yang tinggal beberapa puluh kilometer lagi, namun bagi Yanto, bagai sebuah permainan uji nyali, dan ia hampir merasa dikalahkan, disaat saat semua yang ada didarat semakin mendekat.
Satu hentakan yang nyata, ketika roda2 pesawat dan aspal keras landasan bertemu, saling menyapa, menciptakan putaran yang kencang dan sedikit asap. Pesawat telah mendarat dgn selamat, perlahan dan pasti, laju berkurang, ketika ada mekanisme di kedua sayap yang terkembang, menciptakan efek pengereman.
Syukur alhamdulillah, Yanto bersyukur dalam hati, masih diberikan umur panjang, waktu yang ada kan dipergunakan bertemu dengan orang2 tersayang, walau ia tahu ia hanya memiliki beberapa jam kebersamaan.
Tak perlu menunggu bagasi, Yanto langsung bergegas menuju pintu keluar, yang langsung di kerubungi berbagai orang yang menawarkan jasa angkutan, mulai dari taksi, mobil charteran, sampai ojek motor, namun ia tak perduli, pandangannya lurus kedepan, menuju shelter bis yang kini tampak lebih nyaman.
Resah dan gelisah, bus yang ditunggunya tak kunjung tiba, dah satu jam lebih lehernya terasa panjang, karena tak ingin terlewat satupun bus yang melintas didepannza, "semakin berkurang waktuku kalau begini" berkata ia dalam hati.
Saat bus yang ditunggunya lewat, ia seperti sudah tidak bersemangat untuk menaikinya, dalam perjalanan itu dihabiskannya dengan mendengarkan musik dari headset yang tersambung dari hape nya. Tak membutuhkan waktu lama, ketikam bus jurusan bandara-Tanjung Priok itu tiba di daerah plumpang jakarta utara, Yanto segera turun, kembali puluhan tukang ojek mengerubunginya, bagai semut yang memperebutkan sebutir gula, kembali ia acuhkan, lebih baik melanjutkan perjalanan dengan naik angkot saja, lbh murah.
Sudah tak sabar rasanya, ingin segera melihat sang buah hati tercinta, tuk sekedar pelepas lelah, dan pelepas kerinduan yang tertunda. Anak keduanya, seorang putra, yang lama di idamkanya, telah lahir sebulan yang lalu, hanya berselang 3 hari ketika ia kembali ke kalimantan sana, padahal hampir 2 minggu ia minta ijin pulang tuk menemanì istri tersayang, berharap menyaksikan sebuah keajaiban alam, seperti yang ia lakukan pada putrinya yang pertama, hadir tepat disamping perempuan yang dicintainya, dan memberi semangat agar ada kekuatan lebih dalam proses persalinan itu. Tapi takdir mengatakan lain, mungkin sang putra ingin menunjukan ketegarannya, tak perlu didampingi sang ayah, saat menghirup nafas pertamanya di dunia ini.
Jalan itu semakin dekat, ketika ia mulai melangkahkan kakinya menuju rumah mertuanya, bergemuruh rasa didada, semakin nyata, semakin dekat dengan jarak, semakin kuat ikatan batin terasa.
Disambut oleh kegembiraan putrinya, yang kini sudah berumur 3 tahun lebih, yang langsung melompat ke dalam gendongannya, tak perduli ayahnya belum melepas tas yang berada dipunggung. Penasaran ingin ia segera melihat wajah puteranya. Sang mertua meyarankan Yanto untuk segera cuci muka dan cuci tangan dulu, agar debu dan kotoran yang melekat selama perjalanan, dapat luntur dan terkubur, larut bersama air yang mengalir.
Seolah tak percaya, menyaksikan keajaiban Ilahi, ia terpesona, dengan wajah imut itu, wajah2 baru penghuni bumi, segera ia menggendongnya, ada aliran gelombang yang menyatukan dua jiwa, seolah saling menyapa namun tanpa kata, hanya dapat di sadari oleh hati yang penuh cinta dan kerinduan.
Pangeran telah bertemu dengan rajanya, raja tanpa mahkota, karena kerajaan cinta tak perlu raga, namu begitu luas kekuasaanya, dapat merubah semua rasa yang membelenggu hati dapat dengan mudahnya berubah indah, segala dendam, dengki dan kelelahan jiwa, sìrna oleh sihirnya.
Sebenarnya tak semua rasa dapat terbaca, begitu indah dan menakjubkan tuk diungkapkan, cukuplah pertemuan yang singkat itu memberikan kekuatan bagi Yanto tuk melangkahkan kaki ke depan, menghadapi berbagai halang dan rintang, cukuplah jiwa telah terbersihkan dan terisi semangat tuk menunjukan, bahwa ia bukanlah seorang pecundang, karena ia akan memastikan ia akan menjadi orang yang terakhir tertawa dalam kemenangan
Bersambung....
030110 1814 sl@m
See more stories at www.slam201080.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar