Kamis, 05 November 2009

kisah sedih selembar dendeng

kisah sedih selembar dendeng
Kisah ini kupersembahkan teruntuk istriku cinta, yg kusayang Dewi
Bosan ia dgn keadaannya yg telah sekian lama ditempat yg tak pernah disangka sangka, di dalam sebuah rak, bersama berbagai rupa2, dari mulai bumbu dapur, kecap, mie instant, garam, gula, bahkan makanan bayi. Pemandangan yg sama yg membuatnya jenuh tak terkira, sudah berapa lama ia sendiripun mungkìn lupa, yg menjadì hiburannya mungkin hanya berbagai wajah itu, wajah yg berganti ganti setiap harinya, diwaktu dan jam yg sama, sepertinya dunianya telah diatur, mau tak mau ia hanya bisa mengikutinya. Banyak wajah yg ia telah amatì, mungkin sudah takdirnya diberi kelebihan dapat mengetahui perasaan dari pemilik wajah2 itu hanya dgn sekali melihatnya, wajah2 yg mayoritas bermasalah, mungkin dalam keluarganya, mungkin dgn temanya, mungkin dgn anaknya atau pacarnya, atau orang disekitarnya, mulai dr masalah yg ringan sampai masalah yg mungkin hanya mati merupakan jalan keluar satu2nya. Sebuah hiburan yg aneh, yah tapì memang demikian, dgn mengamati wajah2 yg lewat didepannya, seolah ia merasa yg memiliki wajah itu, kadang ia tertawa sendiri, menangis sendiri, bahkan marah sendiri manakala berpindah pindah dari wajah satu ke wajah yg lainnya, bahkan kini ia dpt mengingat wajah yg sama yg pernah dilihat sebelumnya, ini jg salah satu kelebihannya, mempunyai daya ingat yg tinggi. Dengan memerankan perasaan dari wajah2 itu, ia merasa hidup, ia merasa bersosialisasi, ia merasa bermasyarakat, dan itu yg membuatnya bertahan selama ini, lupa akan kesedihannya sendiri, kesedihan yg terlalu dalam, karena terpisah dari bagian2nya yg lain yg sebelumnya utuh kini hanya terjebak di dalam ruang sempit, bening, kedap udara, ia merasa bahagia saat berbagai wajah itu melewatinya, namun beberapa saat dari waktunya, ia pun harus dihadapi dgn kenyataan dlm gelap saat wajah2 itu lenyap, menunggu esok lg saat semua terlelap, namun ia sendiri tak pernah lenyap dalam kesadarannya selalu hinggap. Saat itu tiba, saat kegelapan dimana mana, saat ia pun tak bisa melihat dirinya, pikiran itu muncul, mengapa aku ada?, mengapa aku tercipta?, dgn apa mengakhiri semua? agar terbebas dari rasa bosan yg benar2 nyata, ia memang tidak tahu untuk apa ìa tercipta, sengaja mungkin agar disaat2 akhir hayatnya ia sendiri yg akan menemukannya. Kali ini ia berdoa, walau tak tahu harus kepada siapa, tak ada memang agama yg mengajarkannya, tak tahu pula ia ada Tuhan, Allah swt yg selalu mengamati semua makhlukNya, namun ia mengerti dan memahami bahwasannya pastilah ada seorang zat penguasa, zat yg dgn kekuatanNya akan mengabulkan permohonannya. Ku mohon kepadaMu zat penguasa, bawalah aku dari tempat ini, pilihlah dari sekian banyak wajah itu untuk membawaku dari tempat ini, agar rasa bosan ini tak membunuhku dalam kejenuhanku. Tak terasa air mata membasahi sekujur tubuhnya, perasaan yg kuat yg mungkin dapat merobek semua, kini hari2nya adalah harapan, suatu saat semuanya ini kan segera berakhir, saat ia melihat wajah2 itu, tak perduli wajah bengis, kejam, sedih, gembira, bahagìa, ataupun terkadang ada wajah aneh yg ia sendiri pun tdk dapat mengartikan perasaan yg punya, ia akan selalu berusaha tersenyum, merayu, mengajak agar wajah itu membawanya pergi. Hari demi hari telah terlewati, kesabaran tiada henti telah mati, kering, menguap menghampiri matahari, keputus asaan datang, bagai gelombang pantai selatan yg menembus karang, senyuman itu hilang, ratapan yg makin panjang, menyayat hati semua rumput yg bergoyang, apakah doanya hanya sampai setengah jalan, menggantung diatas awan, dan terbawa angin nakal yg menerbangkannya menuju jurang, jurang yg dipenuhi berbagai mata pedang, siap mencabik tubuh hingga ke dasar tulang. Ia tidak tahu bahwa ada yg sedang tersenyum, tunggulah sayang, waktumu kan datang.
Siang itu, saat udara mampu mendidihkan darah, saat semua orang enggan keluar rumah, mungkin berendam di dlm bak terbuka lebih disuka, saat itupun ia merasa lelah, walau ditempatnya berada, tak terasa panas itu sedikitpun juga, karena udara telah dijebak, melewati pajang pipa2 besi yg sangat dingin untuk kemudian dihembuskan secara berkala, jadilah ruangan itu sejuk bagai surga. Namun bukan karena itu ia lelah, bukan karena itu ia berduka, hatinya telah kecewa, mengharapkan yg tak mungkin ada, kini ia tak berani menatap, wajah2 yg kini berlalu lalang dìsekitarnya, lebih baik ia terpejam, agar kesadaran ini akan hilang, saat keputusasaan itu telah melekat didirinya, ia seolah merasa terbang melayang, ada tangan2 raksasa yg membawanya serta, masih bingung antara sadar dan khayal, ia memberanikan diri membuka matanya, samar2 kemudian makin jelas dan nyata, dihadapanya ada sebuah wajah ayu, mencerminkan pemiliknya yg lemah lembut, keibuan, penyayang, namun kadang bisa keras bila dibutuhkan, wajah yg menyejukan, namun kadang bs juga menjengkelkan. Wajah itu tersenyum, membolak balik diriku seolah mencari sesuatu, wajah itu nampak berfikir, akankah membawaku atau tidak, lama saat yg dinanti itu terjadi, namun ia menyaksikan sendiri, dirinya telah dibawa oleh pemilik wajah itu, xah seorang ibu muda bersama seorang anaknya sekitar 3 tahun, perempuan, sedikit pecicilan. Gembira luar biasa hatinya, kalau saja ia tidak takut ketinggian mungkin ia akan lompat tinggi kegirangan, terimakasih penguasa, doaku didengar juga, katanya. Tak ingin ia melewatkan kesempatan itu, ia menatap kembali kedalam wajah ibu yg telah membawanya pergi, wajah yg menurutnya sedang bahagia, walaupun samar terlihat bekas2 kecewa dan lelah, namun semua tak tampak, karena perasaan suka cita telah menyatu raga, memang wajah yg di inginkan tuk membawanya terbang dalam kesempurnaan. Akhirnya bebas juga dari tempat sialan ini. Tak lama kemudian garis sinar2 merah itu menjamahnya, sebelum ia disatukan ke dalam wadah beserta kebutuhan rumah tangga yg lainnya, tak mengapa, suasana yg br tak mungkin membunuhnya, bahkan menambah umurnya dari kematian yg sepi. Terayun ayun ia bergoyang kesana kemari, suatu keasyikan tersendiri, tak sadar kini ia pun dapat bernyanyi, lagu riang hati. Aku terpilih dari sekian banyak bagian diriku yg lain aku yg dipilih, kan ku tunjukan aku berguna, kan kubuktikan aku bisa, memberi manfaat bagi semua, selamat tinggal tempat terkutuk, ternyata sebelum dicampakkan karena usia aku telah terpilih.
Tempat yg baru, suasana yg baru dgn wajah yg sama, wajah yg membawanya serta, wajah keibuan itu, seharusnya ia tahu sumber kebahagiaan pemilik wajah keibuan itu, yah sebuah nafas baru, sebuah awal yg menggeliat tanpa ragu, sebuah pengharapan bagi orang2 disekelilingnya yg telah byk mengorbankan masa dan biaya agar nafas baru itu ada, sebuah awal kehidupan fana, tangisan suka cita saat yg lain mulai terjaga. Bayi mungil itu rupanya sadar akan kedatangan ibunya, seolah ia ingin mengadu mengapa tak dìbawa serta, permintaan maaf telah diterima, saat akhirnya air suci itu menyentuh tenggorokannya, hanya air suci itu yg dibutuhkanya saat ini, aku melihat itu semua dari sini, dari dalam sebuah plastik bergambaq lebah bertulìskan alfa, nampaknya tempat itulah yg sebelumnya menjadi rumah dukaku, kini aku bahagia, rumah yg baru, penuh kebahagiaan tanpa tipu, namun dikamar yg lain terasa palsu. Rasanya telah bergalon galon air suci itu telah terkuras ketika dgn kelelahan sang bayi kembali tertidur pulas, aku pun hilang cemas, dikamar sempit nan remang ini, ternyata bahagia itu ada, bahagia yg tak dibuat buat seolah nyata. Merasa iri ia tanpa tahu disebrang pulau sana, jauh diatas gunung hitam batu bara, sang ayah terlihat lelah, penuh pengharapan akan kehadiran yg kmrn tak kunjung datang, penantian yg panjang, tanpa angan, hilang saat harus menghadapi sebuah kenyataan, waktu telah byk hilang, tanpa hasil yg gemilang. Namun kini sedikit demi sedikit, wajah sang ayah jadi berseri, kala suara tangis menggelegar membahana mengiasi alam dengarnya, berkat kecanggihan tekhologi, suara bisa dipindahkan dgn kecepatan melebihi kepak sayap burung gereja, walau tidak semua dgn cuma2, pastinya dgn biaya yg ada. Kembali ke kamar sang ibu, tak bisa tidur memang atau dilarang, saat seperti ini siang menuju petang, sibuk ia membereskan berbagai barang yg dibawa bersama diriku dan menghitung hitung bersama pena dan kertas, berapa pemasukan, berapa hutang, oh sungguh manusia tak bisa terlepas dari yg namanya uang, uang bukan segala galanya, namun sekarang segala galanya harus pake uang, bahkan untuk membuang barang, dari tubuh kita maupun dari tempat sembarang, untuk membawakupun harus dgn lembaran berharga itu, entah siapa tuan siapa, semakin abstrak kehidupan dijaman ini. Mengira telah dilupakan karena asyik dgn alam pikiran yg melayang, akhirnya kembali ia sadar dan memandang, kala sang ibu kembali membawa ke tempat selanjutnya, tempat yg mungkin kan menambah usianya, tempat dgn uap yg membekukan, kotak putih sempit itu nampakanya kan menjadi persinggahan, tuk selanjutnya diri kan diuraikan, menuju keabadian. Saat itu tiba, saat aku dikeluarkan dari kotak beku itu, saat kesadaran yg hilang tiba2 menghadang, aku dibebaskan dari pembungkusku, sebagian diuraikan dari tubuhku, aku melihat bagian tubuhku yg lain tersenyum dan ku balas dgn sedikit kerlingan, saat bahagìa ini tiba, saat diriku merasa berguna, melanjutkan nafas bagi makhluk yg lainnya, kudapat merasakan kala sebagian kecil diriku itu menggelepar, mendesis meringìs, saat minyak panas membungkusnya, kulihat senyum terakhir itu sebelum lenyap menguap keatas langit2 yg dipenuhi debu, sarang laba2 dan kotoran ngengat, seakan menanyaiku kapan ikut serta, menuju keabadian yg nyata, menuju satu saat semua rohku dikumpulkan, menjadi satu bagian, aku iri saat ini, mengapa tak sekaligus aku mandi di dalam minyak panas itu, apakah sebuah penghematan, dari selembarku yg hampir dilupakan, oh mungkin jg ini suatu kenikmatan, agar aku dpt melihat lebih banyak lagi senyuman, dari bagian diriku yg menguap lalu menghilang, hìngga akhirnya tersisa diriku sendiri yg kan tersenyum kepada pemilik wajah keibuan itu, yg dgn penuh kebaikan membawaku serta. Telah beberapa kali aku diuraikan, di keluar masukan ke dalam kotak putih itu, namun kali ini ada yg berbeda, aku tidak lg menikmati tidurku yg dingin membeku, aku berada ditempat gelap, bersama para katun bertubuh pengap, aku berkeringat, berontak, menuntut tempat tidurku yg dìngin dan berkilap, tak rela ku disini, saat ku rentan diserang belatung2 kebusukan yg membuat usiaku berkurang, saat kematian menjelang, kematian penuh kenistaan, terpisah dgn bagian dari diriki yg dikelìiingi senyuman, bila ku terus ditempat ini yg kudapat nanti hanya cemoohan, dan terbuang, bersama sampah comberan, ku kembali berdoa, agar dingin beku itu kembali tercipta, agar terhindar dari kebusukan yg nyata, ku telah berpengalaman dalam berdoa, bahwasanya Tuhan itu ada, Allah Tuhan ku zat penguasa itu, br kuketahui saat ku berada dirumah ini saat menyaksikan mereka yg bersujud dalam kesucian, menghadap memberi laporan jg pengaduan, tentang hidup dan juga kematian. Ku yakin tak lama lg ku kan dipindahkan, dan memang kenyataan, walau kebusukan sempat datang, menyerangku dgn garang, namun ku senang, kembali berbaring riang. Kotak bekuku, indahnya tempat persinggahan ini, terlelap kembali ku dalam dingin, ada yg berubah rasa dari diriku, gara2 serangan itu, sedikit kebusukan yg berbau apek kini melekat di diriku, entah apa kata mereka, mungkin telah berhasil membuat diriku sedikit dicemooh, saat ku mengecewakan sang ibu, yg masih rela mencerna diriku walau telah berbau. Kutersadar tiba2, kudengar suara gaduh, tak terasa ku melayang menembus kotak putih beku meninggalkannya, tertarik oleh cahaya2 bagian dari diriku, memberi kekuatanya agar aku dapat menyaksikan, sebuah kejadian yg memilukan, wajah keibuan itu terlihat marah, membela wanita yg telah melahirkannya, dari angkara murka durjana, tiba2 ku bisa merasakanya, perasaan sang ibu yg membela ibunya, marah, benci dan dendam, kepada orang yg melakukan semua ini, hingga kesedihan menjadi hiasan lampu gantung di langit2 penderitaan, aku ikut marah tanpa bisa melakukan apa2, ku hanya dapat berdoa, semoga semua masalah ini sirna, bagai tulisan diatas pasir pantai yg terhapus gelombang pasang, semoga sang ibu diberi ketabahan sang karang, yg tak mengeluh dihantam sang lautan, semoga semua balasan kan didapatkan sesuai dgn perbuatan. Tertarik ku kembali ke dalam kotak beku itu, kali ini tak dapat ku terpejam, tertahan oleh linangan air mataku yg menggenang, tak rela melihat pahlawanku diperlakukan sewenang2, entah tangis ini sampai kapan, ketika tiba2 aku kembali dikeluarkan, kali ini bersama tubuhku, tak terasa ternyata telah satu harian setelah peristiwa itu datang, ku melihat kotak putihku dibawa entah kemana, saat masih terpana ada yg berbisik kepadaku, setelah pertempuran yg nyata, masing membawa hartanya serta, kotak putih itu ternyata bukan bagian dari keluarga ini, hilang pergi terbawa bersama dendam dihati. Ku kembali ditempat gelap dan pengap ini, sementara, kebusukan kembali tertawa riang, saat mulai menyerangku dari belakang, tidak.. ini tidak boleh terjadi, Anggi, ku tahu itu namamu, cepat bawa seluruh tubuhku ke dalam minyak panas itu, sebelum kebusukan ini menjangkitiku, semoga sisa2 dari diriku ini dapat menambah aliran air suci dalam aliran tubuhmu, sampai hilang suara ini dibekap tangan2 busuk itu, air mataku mengalir, ku bertanya dalam diri, akankah ku dapat bertemu dengan diriku yg lain?
05/11/09 07:16

Tidak ada komentar:

Posting Komentar