Jumat, 20 November 2009

Nasi bungkus

Malam semakin kelam, namun bunyi riuh ramai berbagai jenis kendaraan, simpang siur lewat di depan mataku, tak dapat dipisahkan lagi, antara asap knalpot dengan asap rokok, yang keluar tiada henti dari bibir2 kering supir angkot, wajah2 kelelahan yang masih saja setia mencari penumpang, demi mengejar setoran.
Sesekali ku melirik ke dalam 2 plastik besar berwarna hitam yang ku bawa, didalamnya masih tersisa sekitar 20 bungkus nasi yang berisi berbagai jenis lauk, ada nasi ayam, nasi ikan, dan nasi ati, diplastik satunya juga masih bertumpuk air minum yang terbungkus dalam plastik bening perempatan, tanganku bergetar, terlihat warna merah melintang di telapaknya, kanan dan kiri, beban yang hampir sama setiap harinya ku bawa. Terpaksa ku menurunkannya sejenak, ku taruh dekat pagar pembatas terminal yang masih saja ramai, ku mengambil nafas dalam2, seakan tak ingin oksigen yang kuhirup diambil orang. Sudah hampir seminggu ini ku tak dapat menyaksikan film2 kesayanganku di RCTI, karena sehabis maghrib ku langsung mengayuh sepedaku tuk membawa beberapa nasi bungkus yang siap dimakan, menggoes sadelnya, ku arahkan menuju terminal yang ramai itu, berharap ada yang mau membeli daganganku, ku rela melakukan ini demi keluargaku, ku harus membantu dengan tenagaku, karena tak ada lagi yang aku punya selain itu.
Sepeda kuparkir ditempat yang aman, dan ku kunci sedemikian rupa agar ia tidak hilang. Tak perlu pelatihan, tak perlu masuk perguruan, yang kuperlukan belajar dari alam, bagaimana sebaik dan sesopan mungkin menjajakan apa yang kubawa, target utamaku sopir2 angkot yang begitu dìsibukan mencari langganan, sehingga tak sempat jalan ke warung makan. Penuh senyum harapan agar mereka mau membeli daganganku, ku mulai menawarkan, berkeliling, berputar-putar di dalam dan luar terminal, pada awalnya aku sangat malu melakukan ini semua, sifatku yang sebenarnya seorang yang pendiam, terasa minder, saat harus berinteraksi dengan banyak orang yang tak ku kenal. Wajah-wajah kasar, memang telah melekat pada masing2 mereka, seolah telah di cap, untuk selamanya menderita, namun, wajah2 kasar itu, nampak seperti tampan dan bercahaya, tentunya bila daganganku dibelinya. Diawal-awal hari ku berjualan nasi bungkus, ku begitu tak menduga, ternyata selalu tanpa sisa, hanya menyisakan plastik kosong bekas wadahnya, ku bawa pulang agar bisa di gunakan lagi setiap harinya. Ku mulai menghitung-hitung, seandainya setiap hari demikian, mungkin lunas semua hutang, hutang yang menyelimuti keluargaku, membuat kehangatanpun berkurang, tenggelam dalam dinginnya berbagai tagihan, bagai menyedot darah pelan2, para lintah darat laknat itu menikmati keringat ayahku, ku bertekad, tuk membunuh semua lintah yang menempel ditubuh.
Tersadar dari lamunanku, ku kembali mengangkat dua plastik besar yang masih berat itu, semakin hari, semakin banyak saja sisa dari daganganku ini, ternyata tìdak seperti para pekerja di perusahaan, orang yang berdagang tak dapat di pastikan, kapan ia untung, kapan ia buntung. Waktu telah setengah jam lewat dari pukul delapan malam, lelah yang tersisa, membuat jalanku semakin gontai, setengah jam lagi, sebelum waktuku habis, karena setengah jam lagi waktu operasi angkot telah berakhir, di gantikan dengan ojek motor dan sepeda.
Stasiun Tanjung Priok, menjadi saksi bisu, yang tak dapat bersaksi, namun ia mengetahui, perjuangan seorang remaja, yang seharusnya mempersiapkan buku, tuk belajar esok paginya, tapi malah disibukan oleh banyak bungkusan, yang di bawa oleh ke dua tangannya, terbungkuk, kadang sesekali tersandung, karena tidak memperhatikan jalan, mata hanya dipergunakan untuk mencari pelanggan.
Kupandang gedung stasiun yang bersebelahan dengan terminal, stasiun dengan arsitektur Belanda kuno, masih kokoh berdiri melawan kejamnya zaman, walau terlihat warna putih catnya yang terkelupas dimakan usia, namun nampak tegar, tersenyum kepadaku, agar mengikuti langkahnya, "kamu harus kuat, kamu harus dapat membuktikan bahwa kamu berarti, berguna bagi orang disekitarmu, walau kenyataanya, kamu harus di cemooh oleh mereka2 yang gila dalam limpahan emas, mereka2 yang disibukkan menghitung hartanya, yang jumlah digitnya tidak muat lagi di dalam kalkulaor buatan cina, biarlah mereka dengan dunianya, biarlah,sesungguhnya mereka tidak akan pernah tahu, nikmatnya benar2 hidup, karena hidup adalah kerja keras, karena hidup adalah berusaha sekuat tenaga, karena hidup adalah perjuangan dan pengorbanan." terima kasih ku ucapkan pada suara yang tiba2 terngiang, begitu dalam makna dari hidup ini, banyak misteri yang menarik yang bisa kita pelajari dari alam, pelajaran yang tak akan didapatkan kala kita senang.
Ku berikan senyum terakhirku pada gedung stasiun itu, dan ia membalasnya, waktuku telah habis, percuma jika ku tetap disini, karena orang2 pun semakin sepi. Ku berjalan menuju sepedaku yang ku parkir di dekat taman, ku kaitkan daganganku di kedua stangnya, dengan tangan yang agak gemetar karena keletihan ku buka gembok rantai dari roda belakang yg ku kaitkan dipagar taman. Dengan sisa tenaga yang ada, ku kayuh pulang, bersama harapanku tuk ku bawa kembali esok harinya. Tak tega membayangkan wajah ibuku saat nanti ku tiba, lelahnya lebih dari lelahku, letihnya lebih dari letihku, ia telah mempersiapkan ini semua, dari bahan mentah, hingga siap di makan, ia juga yang membungkusnya, dan mengiringi kepergianku dengan doa, agar aku di berikan kemudahan dan keselamatan. Kumencoba tersenyum, walau kelihatan kecut, sesaat sesampainya dirumah, inilah saatnya, ketika ku tak mampu menahan air mata, "laki2 seperti apa aku ini, begitu saja cengeng," hatiku mengejekku sendiri. Namun semua perasaan sedih itu menghilang, kala ku dìsambut dengan riang, walau ku tahu hatinya tidak demikian, sesungguhnya ia telah lebih banyak mengunyah asam dariku, ia lebih sering menjilat garam dariku, sehingga telah terbiasa dengan kenyataan pahit ini, jadi sìapa yang menghibur siapa? Aku pun tak tahu.
Ku basuh kedua tangan dan mukaku, tuk menghilangkan segala debu, ku ingin mengadu, ku ingin menangis sejadi-jadinya, hingga hati ini puas." Ya Allah, lindungilah keluargaku, dari berbagai kejahatan, yang nampak dan yang tidak,berikanlah kami rejeki yang berkah, hingga tak perlu Kau pertanyakan lagi saat hari hisab tiba, Amin, ya Rabbal Alamin."

201109 1829 sl@m

see more stories at, www.slam201080.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar